Langsung ke konten utama

GUNUNG DEMPO : Belajar Dari Alam

Pada kesempatan kali ini, izinkan saya menulis pengalaman pertama saya mendaki gunung. Ya, tepat sebulan sebelum 23 Desember 2016, rekan sekerjaku (Mr. Eka) mengajak ms. Feni, saya (mungkin) untuk mendaki gunung Dempo, Pagar Alam (Palembang). Bagi Mr. Eka, tentu ini bukanlah pengalaman pertamanya, tapi dengan penuh keyakinan, Mr. Eka berkata : ‘Yuk, Natalan di puncak.” Aku tak tahu mengapa beliau berani mengajak kami yang masih newbie. Yang jelas ini adalah kesempatan emas yang harus saya ambil. Karena saya menyukai tantangan dan hal baru, langsung saja aku iyakan tanpa mikir panjang lagi. Untuk kali ini saya begitu sangat-sangat excited. Mulai dari mencari informasi tentang gunung Dempo, latihan fisik, sampai berbelanja peralatan-peralatan yang tentunya akan berguna selama pendakian. Sebulan adalah waktu yang harus kami gunakan sebaik-baiknya untuk mempersiapkan fisik yang fit di hari H. Seharusnya dalam pendakian ini ada tiga orang wanita yang ikut serta, tapi apa daya rekan kami yang satu batal untuk ikut dikarenakan fisiknya tidak dalam kondisi baik, dan harus beristirahat.

Singkat cerita, H-1 sebelum keberangkatan, Mr. Mik baru ditawarin oleh Mr. Eka untuk mendaki bersama, tak kami sangka, tanpa pikir panjang, dia fix untuk ikut dalam pendakian ini. Bagiku ini orang sangat ruarrrrr (bukan luar) biasa. Mengapa? Bayangkan, H-1 dia diajak, tanpa ada latihan fisik, tanpa ada kesiapan diri, di hari H dia berhasil mempersiapkan segala perlengkapan dengan cukup baik dan bahkan lebih "WAW" ketimbang kami wanita.

Tepat, 23 Desember, pk. 16.00, kami berangkat dari Palembang menuju ke Pagar Alam menggunakan mobil. Kurang lebih sekitar pukul 00.30 (24 Des), kami sampai di tempat menginap untuk melepas lelah. Tak perlu mandi, atau pun makan, langsung saja tidur karena lelahnya.


Sekitar pk. 04.00, aku terbangun, tak bisa tidur lagi, dan mulai berdoa sampai pagi supaya pendakian ini lancar-lancar saja. Hahaha. Pk. 07.00, kami mulai perjalanan kami. Mulai dari mempersiapkan tenaga dengan makan serta berbelanja keperluan logistik semalam pendakian.


Kali ini, saya bersama lelaki super. Mereka teramat baik, dan rela membawa barang-barang pribadi kami. Kami hanya membawa ransel kecil berisikan makanan yang bisa habis diperjalanan. Huhuyy.. Baik kali kan. Sepanjang perjalan kami boleh menikmati udara di Pagar Alam yang begitu segar dengan pemandangan kebun teh yang hijau terhampar luas. Itu sekali lagi membuatku terkagum akan kebesaran Tuhan.


Sekitar pukul 08.30, akhirnya sampailah kami di Tugu Rimau. Tugu Rimau adalah salah satu dari titik awal pendakian menuju puncak Dempo. Ada alternatif lain selain Tugu Rimau yaitu melalui jalur kampung empat. Kalau saya baca sih, jalur kampung empat lebih memakan waktu cukup panjang jika dibandingkan melalui jalur Tugu Rimau, dengan tingkat kesulitan yang juga jauh berbeda. Untuk newbie seperti kami harusnya disarankan untuk lewat jalur kampung empat saja karena treknya lebih landai. Loh, kita kan newbie, kok dikasih trek yang sangar sih om? Hoalaaaaa… Yasudah percaya dan yakin aja sama diri sendiri.

Kami kembali mengecek dan memastikan apakah semua barang sudah lengkap untuk di bawah. Siap, kami mulai pendakian  dengan berdoa, tak lupa menyebut ‘amin’. Hahaha, dan target kami, sebelum magrib kami harus sudah sampai ke pelataran untuk bermalam. Apa itu pelataran? Pelataran adalah sebuah lapangan luas yang terletak antara puncak dengan merapi, dan biasanya di tempat ini banyak orang membangun tenda untuk bermalam. Dari puncak, kalian akan turun kurang lebih 15 menit untuk sampai di pelataran.

Belum juga pemanasan, kami sudah di sambut dengan tanjakan selamat datang yang cukup membuat hati ini ragu (bakalan sanggup sampai puncak apa kagak. Hahaha). Pantang menyerah, kami saling bahu membahu. Mr. Eka memimpin di depan, disusul oleh Mr. Mik, Ms. Feni, saya, dan juga mas Rendra. Kami membuat susunan seperti itu ada maksudnya loh gan. Ternyata, dalam peraturan undang-undang tahun 1945 tentang pendakian (lebay kan lebay). Posisi orang yang paling depan adalah orang yang kuat dan sanggup untuk memimpin timnya. Orang yang berada di posisi tengah adalah tim hore, tim yang suka semangatin temen yang kelelahan/ga kuat lagi (ini pantas disandangkan untuk Mr. Mik yang super kocak). Dan posisi orang yang paling belakang itu sering kali disebut sweeper (pembersih sampah), ehh salah maksudnya mengecek kembali apakah teman-teman dan barang bawaan tidak tercecer di jalan.



Kalian tahu, belum sampai 15 menit melangkah, kaki dan tangan saya mulai terasa menggigil. Sebetulnya saya orang yang paling suka dengan udara dingin, tapi betul saat itu saya kalah. Selidik punya selidik, ternyata udara dingin dan keringat (ga sampai netes-netes sih) yang tidak diserap dengan sempurna oleh baju membuatku jadi kedinginan.
“Mr. Eka, boleh ga aku ngambil sarung tangan dan kaos kakiku dalam tasmu?” ujarku.
“Kenapa kau, Ms?”
“Mr. badan terasa ga enak, rasa dingin.” tanggapku.
Dengan sabar, dia membongkar tasnya yang besar dan mencari barang yang aku minta.
.
.
Terus kami berjalan menuju Shelter 1, namun tak sampai 10 menit dari berhentinya kami. Lagi, lagi..
.
.
“Mr. Eka, sorry aku ngerepotin lagi. Aku boleh minta tolong ambilkan jaketku ga?” ujarku kedua kalinya.
Sekali lagi, dengan penuh kesabaran dia kembali membongkar isi tasnya. Thanks to you, Mr. Eka sudah mau aku repotkan dalam perjalanan ini.
.
.
Saat itu aku tidak mengalami hiportemia atau sejenisnya, tubuhku hanya  butuh beradaptasi dengan perubahan cuaca yang begitu drastis. Setelah semua terpasang dengan baik, kedinginan tak lagi begitu terasa, dan saya kembali bersemangat untuk sampai Puncak. 

Perjalanan kami cukup jauh dari untuk sampai di Shelter 1, dan perut kami pun mulai terasa lapar.
“Ms. Wulan, nasi tadi pagi yang kita beli dibawa kan ya?” ujar Mr. Eka.
“Loh, ga ada yang titipin ke tas aku. Ada di tas ms. Feni ga?” tanggapku.
“Mana ada ms.” ujar Ms. Feni.
“Pempek yang ms. bawa mana?” tanggap mr. Eka lagi.
“Udah aku buang, Mr.” jawabku.
.
.



Bayangkan perut sudah kelaperan, dan ceritanya mau makan, ehhh.. justru makanan yang dibungkus supaya ga repot masak malah ketinggalan di mobil (basi-basi dah), dan pempek yang ku bawa dari Palembang juga sudah ku buang di perjalanan karena rasanya sudah kurang enak lagi. Hahaha. Beruntung sekali, mereka memaklumi akan ‘kelalaian ini’ dan tetap happy selama perjalanan. Tak jadi makan berat, kami memutuskan untuk terus jalan sampai Shelter 1 dengan mengemil banyak cokelat untuk menunda lapar.

Saya tidak ingat persis berapa lama waktu yang kami butuhkan untuk sampai di Shelter 1. Yang jelas, jalur pendakian via Tugu Rimau ini, super keren… kalian harus manjat-manjat bak monyet, tapi masih cukup aman karena kanan kiri belum begitu terlihat jurang. Dipikiranku, Shelter merupakan sebuah hamparan yang cukup luas, bisa digunakan untuk istirahat dan guling-gulingan. Ternyata oh ternyata, gunung itu keras coi, shelter bak pondokan kecil yang ada di pinggiran jurang. Jurang ya jurang, bukan sawah, hahaha… Di tempat ini harusnya kami hanya beristirahat sejenak dan tidak masak tapi karena nasi yang sudah dibeli ketinggalan, jadinya kami pun harus memasak pop mie untuk di makan. Mr. Eka, Mr. Mik, dan Mas Rendra adalah kokinya. Saya dan Ms. Feni? Nonton aja. Hahaha.. Uhh… kalau udah kecapekan, udara dingin, perut laper, makanan apa aja jadi terasa uenaaakk tenan.

Jalurnya ga nyantai oi
Puas beristirahat sejenak dan makan, kami melanjutkan perjalanan dari Shelter 1 ke Shelter 2. Hujan pun mengiringi perjalan kami. Saat itu, banyak pula pendaki yang turun dan menginfokan kepada kami bahwa di Puncak sedang badai. Namun, informasi seperti itu tak menghalangi kami untuk sampai ke puncak. Perjalanan terasa begitu panjang dan jauhhh..  tubuh mulai kelelahan, tak khayal, kami berhenti sejenak untuk memulihkan stamina kami. Ternyata, anak gunung itu hatinya lembut loh, sabar, sering di PHP-in aja gak marah malahan makin semangat untuk sampai puncak. Ahh, pokoknya jatuh cinta dah sama anak gunung, maulah cari calon suami yang suka naik gunung. Sulit pun dia di daki, apa buat memperjuangkan aku. Ahhh.. gagal fokuskan. Ups, sorry.




Oke, jalur pendakian untuk sampai di Shelter 2 ini, tak kalah berbeda dengan Shelter 1, masih ada hutan namun mulai semakin menyempit dan jalanan licin karena lumut. Tak berlama-lama berisirahat, waktu sudah semakin sore, kami harus mengejar puncak sebelum gelap datang. Adrenalin mulai terpacu dari Shelter 2 sampai puncak, alam begitu keras seolah tidak ada ampun dan kata mundur bagi para pendaki. Jalur mulai menyempit, terhimpit jurang di sisi kanan dan kiri kami. Kami hanya diijinkan untuk berpegang pada akar-akar pohon dan langkah kami harus berhati-hati untuk mencari fondasi yang kuat untuk menginjakan kaki. Belum lagi, sebelum masuk ke lokasi hutan terbakar, kami harus melewati trek dimana kami hanya menggunakan seutas tali dengan trek yang tajam dan kanan kiri jurang. Tak pernah ku bayangkan dan bersyukur kami bisa melewati semuanya itu. Oh ya, Semangat dan fisik Ms. Feni jauh lebih kuat jika dibandingkan aku, tapi beliau begitu sangat takut ketinggian. Beliau cukup kuatir untuk melewati trek ini, tapi sekali lagi, ada Mr. Eka yang begitu setia dan sabar membantu.




Pintu masuk sampai ke Puncak sudah semakin dekat. Jalanan sudah mulai terasa lebih manusiawi hanya karena kondisi gelap yang sudah semakin pekat, kami harus cepat melangkahkan kaki dari hutan terbakar itu. Keadaan sudah semakin gelap dan penerangan yang kami bawa pun seadanya. Kami hanya membawa 2 senter kecil, tapi ada saja kejadian yang tak terduga terjadi, mulai dari nyari baterai, tali putus, dsb. Gak perlu saya ceritakan detail, yang bisa terpakai hanya 1 senter untuk 5 orang. Kebanyang tidak? Bisalah ya. Haha, beruntung penerangan kami cukup terbantu dengan tim pendaki yang lain yang pada saat itu sama-sama mau menuju puncak.

Kira-kira pukul 19, kami sampai di puncak, dan memutuskan untuk langsung turun ke Pelataran. Setelah kami sampai di pelataran, ternyata sudah banyak pendaki yang membangun tenda untuk bermalam. Di tengah udara yang begitu dingin yang disertai angin kencang dan hujan, kami mulai mencari lokasi untuk dibangun tenda. Pelataran begitu sangat ramaii, ramaiiii banget kayak di pasar, bukannya tidur istirahat, tetangga sebelah kami malah dangdutan sampai tengah malam. Haha.. Sementara para pria membangun tenda, aku dan ms. Feni mengganti pakaian kami dengan pakaian bersih dan siap untuk beristirahat. Setelah tenda di bangun, lagi-lagi para pria menunjukkan terampilnya. Mereka kembali memasak untuk kami makan. Aduuhh, so sweet kali lah yaa… Kami wanita ini bisa apa coba, tahunya makan tokk eh.. Hahaha.. Oh ya, di gunung tidak ada Indomaret, apa lagi toilet ya, sooo… bawalah makanan dengan secukupnya, memang sih kalau kehabisan bisa minta sama tetangga, tapi kan malu juga atuh minta-minta terus. Oh ya, kalau mau buang air kecil apa besar, cari tempat aman saja supaya tidak terlihat orang, tidak ada toilet oi.. (kalau mau bangun sendiri). Bersahabatlah dengan alam, itu adalah kunci kalau mau hidup dan tetap sehat. Biasalah menyesuaikan dengan alam.

Perut kenyang, badan capek, cuaca dingin, tak dapat membuat mataku terpejam. Sepanjang malam aku tidak tidur dan begitu gelisah menantikan pagi.

25 Desember

Pagi itu, kami merayakan Natal benar-benar di Puncak. Sebetulnya kami ingin sekali sampai ke kawah gunung Dempo. Namun apa daya, dari malam sampai pagi cuaca kurang begitu bersahabat, kami putuskan untuk tidak naik ke kawah, dan langsung berberes pulang. Sedih, kecewa, lelah bercampur jadi satu. Tapi tak apa, pengalaman dan pembelajaran sejati ku temukan disini. Gunung dan mereka, mengajarkanku banyak hal tentang arti dari sebuah kebersamaan, kekompakan, kesetiaan, saling membantu, tidak egois, tetap kuat dan sabar dalam menanti segala sesuatu. Kalau masih ada kesempatan akan ku bawa kaki ini melangkah jauh menapaki puncak tertinggi di Indonesia.







Jam 9 aja, masih penuh kabut tebal

Kayak mafia, efek ga tidur sepanjang malam
Oh ya, sekitar pk. 13, kami mulai beranjak dari Pelataran, dan kabar baiknya kami semua sampai ke titik awal pendakian sekitar pk. 18.15 dengan selamat tanpa kurang suatu apapun. Langsung saja saat itu rasa syukur keluar dari mulut kami. Pada kesempatan kali ini saya mau berterima kasih khususnya buat mr. Eka dan Mas Rendra yang banyak membantu dan tak ragu membawa kami yang newbie dalam pendakian ini. 



Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUNUNG RAUNG : Perjalanan Menggapai Puncak Sejati - 3344 MDPL

Raung, 3344 MDPL I'm coming!!! Pucuk dicinta ulampun tiba. Gayung bersambutlah pokoknya! Cerita kali ini bisa dibilang kebanyakan drama, namun sangatlah menyenangkan. Kenapa enggak, keinginan awak beberapa tahun silam akhirnya kesampean, baca nih -> K E S A M P E A N.  Rasa penasaranku begitu menggebu, nancap sampai ulu untuk menunggu moment itu, akhirnya terealisasi. Moment opo toh neng? Ya... Pokoke berhasil muncak dan megang plakat Mt. Raung yang dikenal sebagai gunung yang memiliki trek paling ekstrem se-Pulau Jawa. Sebelum menceritakan detail perjalananku, aku ingin sodara-sodari kenal akan gunung ini. Raung... Secara administratif, kawasan gunung Raung termasuk dalam wilayah di tiga kabupaten yaitu Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Dan secara geografis, lokasi gunung Raung berada dalam kawasan komplek Pegunungan Ijen, dan dinobatkan menjadi gunung yang memiliki puncak paling tinggi dari gugusan pegunungan tersebut.  Raung sendiri memiliki 4 titik puncak, yaitu

Budget Traveling Palembang - Bali sampai ke Labuan Bajo

Untuk postingan kali ini, saya akan merincikan biaya yang saya keluarkan (pribadi) untuk dua tempat wisata ini. Biaya jalan-jalan ini kurang lebihnya terdiri dari : 1. Biaya transportasi  : a. Pesawat Palembang - Bali b. Pesawat Bali - Labuan Bajo c. Pesawat Labuan Bajo - Palembang d. Trasportasi ke Bandara 2. Biaya Inap Hotel a. Hotel di Bali b. Hotel di Labuan Bajo 3. Biaya Sailing 3D 2N 4. Biaya Lain-Lain a.  Biaya Makan / Kuliner b. Tempat masuk wisata b. Transportasi di Bali dan Labuan Bajo c. Tips ABK 4. Oleh - Oleh ( optional ) 1. Biaya Transportasi a. Pesawat Palembang - Bali (Garuda) 22 Maret 2016 - Rp 900.000,- Untuk pergi ke Bali, ada begitu banyak pilihan maskapai penerbangan. Saya lebih memilih untuk naik pesawat ketimbang jalur darat (ngeteng) dengan alasan ya Sumatera dan Bali itu jauh sekali oi.. Berhubung saya sudah merencanakan dan membeli tiket PLM - DPS 3 bulan sebelum (Desember), saya mendapat harga tiket jauh lebih mur

RAJA AMPAT : Serpihan Keindahan Surga yang Jatuh ke Bumi (PART II : MISOOL ISLAND)

Misool Island!!! Sebuah destinasi yang "katanya" paling wajib dikunjungi kalau berkunjung ke kawasan wisata Raja Ampat. Dan "katanya" lagi,  keindahan alam bawah laut dan  landscape yang ditawarkan di kepulauan Misool begitu berbeda indahnya, melebihi keindahan Kepulauan Wayag atau pun Piaynemo. Pada waktu dan kesempatan kali ini, masih dengan tim yang sama, setelah dikurang dan ditambah dengan beberapa orang yang berbeda, terkumpullah 17 orang yang memiliki tujuan yang sama, ingin menjelajah kepulauan Misool. Yappp! S etelah rehat 2 hari dari menjelajah  Kepulauan Wayag & Piaynemo , kini tiba saatnya aku dapat melihat keindahan Kepulauan Misool secara langsung. Rasa bahagia begitu nyata mewarnai hariku saat itu. Senin, 15 Maret 2021 (PELABUHAN MARINA SORONG - KAMPUNG PULAU KASIM - KAMPUNG HARAPAN JAYA) Pk. 09.00 WIT,  Meet up at Marina Sorong Port "Hari ini kita ketemu di Pelabuhan Marina, Sorong, ya."  .... Siapp! Ku packing -kan   seluruh bawaanku,