Sekedar
informasi, Gunung Latimojong merupakan salah satu list dalam deretan puncak
tertinggi Indonesia. Inilah yang menggerakanku penasaran untuk mendaki tempat
ini. Oh ya, Gunung Latimojong memiliki banyak puncak, tak jabarin ya :
1. Puncak Rante Mario (3.478 Mdpl)
2. Puncak Nenemori (3.397 Mdpl)
3. Puncak Rante Kambola (3.083 Mdpl)
4. Puncak Pokapinjang (2.970 Mdpl)
5. Puncak Latimojong (2.800 Mdpl)
6. Puncak Sikolong (2.754 Mdpl)
7. Pucak Bajaja (2.700 Mdpl)
8. Puncak Pantealoan (2.500 Mdpl)
9. Puncak Sinaji (2.430 Mdpl)
Noh, tinggal milih aja mau puncak yang mana. Kalau aku sudah tentu memilih puncak tertingginya - Puncak Rante Mario.
2. Puncak Nenemori (3.397 Mdpl)
3. Puncak Rante Kambola (3.083 Mdpl)
4. Puncak Pokapinjang (2.970 Mdpl)
5. Puncak Latimojong (2.800 Mdpl)
6. Puncak Sikolong (2.754 Mdpl)
7. Pucak Bajaja (2.700 Mdpl)
8. Puncak Pantealoan (2.500 Mdpl)
9. Puncak Sinaji (2.430 Mdpl)
Noh, tinggal milih aja mau puncak yang mana. Kalau aku sudah tentu memilih puncak tertingginya - Puncak Rante Mario.
Ini jauh di luar ekspektasi, nalar dan bahkan harapanku. Solo,
tak paham lokasi, tak ada yang aku kenal, yess! Ini namanya eksplorasi jati
diri. Tak usah panjang kali kau curhat Neng! Langsung saja, tepatnya 2 bulan
sebelum keberangkatan, aku mencoba mencari segala bentuk informasi, data dan
lain-lain tentang Makassar, membeli tiket, melengkapi perlengkapan hiking, serta persiapan fisik yang tak
kala tidak rutin. Akhirnya, ku dapati artikel dari seorang blogger yang ber-solo hiking
ke Latimojong juga segala informasi, data dan penduduk lokal di Makassar selama
beliau menjalani perjalanan disana. Oke, tak cukup banyak informasi yang dia
berikan karena di blognya sudah tertulis dengan cukup jelas.
“…. Ya
udah Neng, coba hubungi nomor ini.” Katanya.
“Oke,
makasi banyak bang.”
Dengan
segera ku ayunkan jari, mengirim pesan kepada salah seorang disana, sebut saja
namanya Sunar.
…..
“Bang, kira-kira ada ga temen yang bakalan nanjak ke Latimojong 9-11 Juni?” Tanyaku sambil berharap menunggu jawaban yang nantinya akan menghiburku.
“Kenapa
mbak? Datang saja, tenang nanti saya yang temenin.”
“Yakin
Bang? Itu bulan puasa loh?”
“Yakin,
gpp, datang aja.” Balasnya, tanpa tahu raut muka sebenarnya.
Jujur
antara senang, dan was-was juga, loh kenapa kan enak sudah ada yang bakalan
nemenin nanjak? Ya gak segampang dan seindah yang dibayangkan lah, secara juga
wanita. Wanita mana yang tidak was-was pergi jauh ke kota orang, ke gunung
pula, dengan pria yang tidak dikenalinya sebelumnya. Mau mati sia-sia kale.
Hari-hari berlalu, dan akhirnya…
Sabtu, 9 Juni 2018
Burung besi
menibakanku di Bandar Udara Hasanuddin pada pukul 00.05, dini hari. Berpasrah
dengan segala opsi dan kemungkinan yang ada. Ternyata, di sana telah hadir 2
orang pria yang menunggu kedatanganku. Senangnya hatikuuuu, turun panas
demamku, kini aku bermain dengan riang. Plakkk! Fokusss.
Dengan
segera, akhirnya kami lajukan kuda besi ke Gowa, tempat dimana aku akan
beristirahat dan tinggal untuk beberapa waktu. Ya sudah tentu itu adalah rumah
keluarga Sunar. Perjalanan dari Makassar menuju Kab. Gowa membutuhkan waktu
kurang lebih 2 jam perjalanan, dan sekitar pukul setengah 3 kami tiba ditujuan.
Berhubung hari dimana aku datang adalah bulan Ramadhan, maka aku pun disambut
keluarga Sunar dengan sahur bersama. FYI, sejam sebelumnya, seorang rekan
temanku (Way) sudah mentraktirku nasi kuning. Hahaha. Syukuri aja, lagi-lagi
makan! Melalui tulisan ini aku berterima kasih untukmu Way, karena sudah mau
direpotkan. Untuk keluarga besar Sunar, terima kasih banyak juga untuk jamuan
makan berkesan, nan hangat subuh itu.
Sehabis
makan, seharusnya kami beristirahat dikarenakan jam 9 pagi kami akan memulai
perjalanan panjang kami, namun ternyata dikarenakan tidak bisa tidur dan
menunggu dua rekan yang lain untuk packing ulang seluruh bawaan, mataku pun
tetap terjaga hingga pagi hari.
Pukul 9
waktu setempat, kami memulai perjalan kami yang cukup panjang dan akan sangat
melelahkan dengan menggunakan sepeda motor. Lagi-lagi, ini adalah pengalaman
pertamaku berjalan jauh, bawa beban berat dengan menggunakan sepeda motor, dan
aku pun bersemangat untuk itu. Sepanjang perjalanan dari Kab. Gowa menuju Desa
Karang (tempat perhentian terakhir sebelum mendaki), kami disuguhkan
pemandangan alam yang begitu asri dan apik tenan. Ladang hijau, langit biru
terbentang luas mengiring perjalanan kami untuk sampai.
Dari kabupaten ke kabupaten telah kami lewati, namun tubuh tidak bisa dibohongi. Malam itu kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan esokan harinya, dan kami akhirnya bermalam di rumah Hafiz, perbatasan antara Baraka dan Desa Karangan. Apa dayalah hari itu, tetap saja aku kurang istirahat, kami mengobrol sepanjang malam, dan aku di doktrinasi disana oleh salah seorang senior.
Dari kabupaten ke kabupaten telah kami lewati, namun tubuh tidak bisa dibohongi. Malam itu kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan esokan harinya, dan kami akhirnya bermalam di rumah Hafiz, perbatasan antara Baraka dan Desa Karangan. Apa dayalah hari itu, tetap saja aku kurang istirahat, kami mengobrol sepanjang malam, dan aku di doktrinasi disana oleh salah seorang senior.
“Kalau
gak kuat, ga usah sok kuat. Pulanglah, sebelum sampai puncak. Pos 2 ke Pos 3
itu keras.” Ujarnya.
Aku menyimpan kalimat itu dengan cukup baik dalam memori otakku. Dan keesokan paginyaaaa….
Aku menyimpan kalimat itu dengan cukup baik dalam memori otakku. Dan keesokan paginyaaaa….
Minggu, 10 Juni 2018
Pukul 8 kami
melanjutkan perjalanan kami dari rumah Hafiz ke Desa Karangan. Konon katanya,
dan benar nyatanya, perjalanan hanya membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 2
jam, tapi dengan trek yang aduhai, indahhh tapi ‘mematikan.’ Apa maksudnya
Neng? Jalannya kurang manusiawi, hancur dan nanjak terus. Beberapa kali
mengharuskanku untuk turun dari motor membawa daypack untuk pemanasan kecil sebelum memulai pendakian.
Ternyata, semangat gak cukup untuk menakhlukan Latimojong. Seketika, pandanganku gelap, rasanya mau pingsan. HAHAHA!
Ternyata, semangat gak cukup untuk menakhlukan Latimojong. Seketika, pandanganku gelap, rasanya mau pingsan. HAHAHA!
“Mbak gak
kenapa-kenapa kan? Sini aku anter mbak dulu ke rumah kepala dusun, terus
istirahat disana.” Sahut Sunar yang melihatku sudah begitu lelah.
Akhirnya,
beliau gas motor yang sudah tak sanggup untuk tetap naik dengan perlahan, dan
menibakan aku di rumah kepala dusun Karangan.
Setibanya
aku disana, langsung saja aku rebahan di rumah warga setempat dan berbaur
dengan mereka yang sedang sibuk mengolah biji kopi.
Tak lama
kemudian, Sunar, dan kedua temannya, sebut saja Jaling dan Aldi tiba. Dan
inilah awal dari cerita bahagia kami selanjutnya. Kami mendaftarkan
diri kami dan izin untuk melakukan pendakian kepada kepala dusun Karangan
dengan membayar biaya kontribusi sebesar Rp 10.000,-/orang. Panas
terik di siang hari kala itu, menjadi saksi bisu dimana 4 orang muda-mudi mulai
pendakian.
…. Amin.
Harapan dan doa indah kami, kami panjatkan untuk mengawali perjalanan nan keras
ini.
Sepanjang
perjalanan dari Basecamp menuju Pos 1, kita hanya melalui perkebunan warga yang
terbentang luas, untuk treknya? Puanjangggg dan menguras tenaga. Belum juga,
seperempat perjalanan, langkah kaki kecilku tertatih membawa daypack bawaanku. Aku mencoba mengajak
mereka beristirahat di sebuah jembatan kecil dan memasak makan siang disana.
Aku berharap setelah makan, tenagaku kembali pulih dan bisa melanjutkan
perjalanan.
Ternyata, tubuh lelahku akibat kurang tidur tak bisa dibohongi. Jrengg, jreenggg.. Akibat doktrin salah seorang senior tadi malam yang masih rapat aku simpan, aku berkata :
Ternyata, tubuh lelahku akibat kurang tidur tak bisa dibohongi. Jrengg, jreenggg.. Akibat doktrin salah seorang senior tadi malam yang masih rapat aku simpan, aku berkata :
“Sunar,
sepertinya aku tidak kuat lagi. Pulang saja.”
Pos 1
dengan kerasnya, dibandingkan dengan semangat yang diberikan Sunar kepadaku,
mengajari aku untuk tetap bertahan. Walau tubuh lelah, aku harus tetap
bersemangat dan optimis melewati “sambutan
kecil” menuju atap Sulawesi.
Pos
1 – Pos 2 (Sarung Pakpak)
Memasuki
perbatasan Pos 1 dengan Pos 2, kami disambut dengan padat dan suburnya
pepohonan gunung. Ditambah lagi dengan ‘trek cantik’ nan aduhai. Jaling sempat
terjatuh, terduduk cantik di pinggiran jalur.
Kurang lebih pukul 13.20 kami tiba di Pos 2, sumber mata air. Di sini sumber aliran air yang cukup besar, kita bisa beristirahat dan basah-basahan sejenak. Mau minum bisa, mau mandi pun juga bisa, tapi tetap harus waspada karena arus air di tempat ini cukup deras. Tempat ini memberikan ketenangan sendiri, begitu tenang dan kau hanya bisa mendengarkan gemuru air yang menderu. Cukup lama kami menikmati tempat ini. Dan kami mulai melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 yang katanya cukup gila bisa dibuatnya.
Pos 2 – Pos 3 (Lantang Nare)
Memang
benar kata orang, jalur menuju Pos 3 memang ‘gila’. Mengingatkanku akan cinta
pertama beserta kenangannya. Gunung Dempo, yap! Jalur menuju Pos 3 cukup
ekstrem dan menantang. Di beberapa titik diberikan rotan kecil sebagai alat
bantu untuk memanjat kayak spiderman.
Bener-bener ga nyantai cuii, lutut ketemu lutut. Cobain aja kalau penasaran,
asik banget dah. Please! Jangan bawa nenek-nenek rempong dimari, bakalan susah,
nangis, dan menjerit minta pulang nanti. #lebay
Pos 3 – Pos 4 (Buntu Lebo)
Pos 3 – Pos 4 (Buntu Lebo)
Jalur
dari Pos 3 menuju Pos 4 tidaklah separah dari Pos 2 menuju Pos 3, namun jalur
ini agak sedikit lebih panjang. Walaupun tak panjang, Latimojong memberikan
kesan tersendiri. Dari Pos 1 sampai dengan Pos 4, bisa dibilang tak ada
bonusnya sama sekali. Cukup keras dan menguras tenaga, jalur yang kami lalui menuju
ke Pos 4, yang dimana jalur ini di dominasi hutan rapat. Lebih kurang 45 menit
waktu yang kami butuhkan untuk sampai, dan disini kami beristirahat sejenak
lebih kurang 10 menit untuk melanjutkan perjalanan menuju Pos 5.
Pos
4 – Pos 5 (Soloh Lama)
Waktu
telah menunjukan pukul setengah lima sore, yang mengharuskan kami untuk
bergegas pergi meninggalkan Pos 4. Konon katanya dan benar adanya, jarak tempuh
menuju Pos 5 memakan waktu cukup panjang dengan trek yang kadang landai dan
kadang juga nanjak-nanjak gitu. Berhubung tubuh sudah begitu lelah, beban
terasa semakin berat dan rasanya ingin cepat sampai.
Pos 5
adalah Pos perhentian terakhir kami, dan disini kami akan membangun tenda untuk
bermalam. Beruntung aku punya temen pendakian super sabar dan buaiknya ampun. Kami
tiba cukup malam di Pos 5, dan kami pun harus segera membangun tenda. Dengan
tempat yang sangat luassssssss, dan cukup datar, di tempat ini sangat di
rekomendasi untuk membangun tenda.
Setelah usai membangun tenda….
Setelah usai membangun tenda….
“Jaling,
Aldi, ambil kau air disana.” kata Sunar.
“Macam
mana pula kau, kami ga tahu.”
“Ya sudah
aku temani, besok pagi ambil sendiri.”
Sementara
aku yang lagi berberes, kecapekan, dan hendak beristirahat…….
“Mba, mau
ikut atau tinggal sendiri disini? Kami mau ambil air.” Ujar Sunar.
“Jauh
tidak?”
“Kurang
lebih sekitar setengah jam.”
“Yaudah
aku ikut saja.” Jawabku. Horor juga ya kan kalau tinggal sendirian dalam tenda,
di hutan pula, dan tak ada tetangga. Walau pun jalan sudah terseok-seok kupastikan
langkah kaki harus tetap digassss untuk sampai di sumber mata air tersebut. Dan
benar saja, aku pun ga akan mau ngulang untuk kedua kalinya untuk mengambil air
di Pos 5 ini. Loh kenapa, neng? Jalurnya ampun, turun naik, kiri jurang, dan
sesekali kita akan menemukan pohon-pohon tumbang yang menghalangi jalur.
Tak pikir
panjang, setelah mengambil air, langsung saja aku tidur, mau makan apa gak juga
gak gitu masalah. Namun Sunar dkk tetap semangat untuk memasak makan malam. Di
Pos 5 ini kami menghabiskan malam dengan beristirahat untuk keesokan harinya
melanjutkan perjalanan menuju puncak.
....
bersambung....
http://nengnongki.blogspot.com/2018/07/solo-traveling-catatan-backpacker_25.html
....
bersambung....
http://nengnongki.blogspot.com/2018/07/solo-traveling-catatan-backpacker_25.html
Itu serius dari gowa - enrekang motoran ?
BalasHapus