Langsung ke konten utama

GUNUNG LATIMOJONG (PART 1) : Solo Traveling - Pendakian 3.478 Mdpl (Atap Sulawesi)

Hari ini mungkin hari yang paling ditunggu setelah sekian lama jungkir balik ketemu sama rutinitas yang gitu-gitu aja. Flattttt, hiyaaatt. Perjalanan kali ini bisa dibilang cukup ‘NEKAT’, bisa jadi mau mati, atau bisa jadi mau nyoret nama di Kartu Keluarga Mamak tanpa jejak. HAH! Maksudnya apa sih Neng? Jadi begini ceritanya… Alkisah di Palembang hiduplah seorang gadis yang pikirannya cukup kompleks, tak bisa di duga yang hendak melarikan diri dari penat dan datar hidup. Pemikiran yang gila mendorongnya untuk memutuskan tempat mana yang akan dia kunjungi untuk melepas hasratnya yang cukup menggila kala itu. Sebuah tempat tak pernah dia datangi sebelumnya, tak ada keluarga, teman, ataupun relasi. Bunuh diri? Bisa jadi! Haha. Yap, ini bukan pengalaman pertamaku mendaki tanpa teman terdekat. Pengalaman sebelumnya, Rinjani telah menjadi saksi bisu bahwa Solo hiking bagi seorang wanita tak begitu seseram yang dibayangkan. Kesuksesan ‘jalan sendiri’ Desember silam memacuku untuk mencoba lagi. Kali ini aku memilih Makassar, Sulawesi Selatan, dan target utamaku ialah Gunung Latimojong.


Sekedar informasi, Gunung Latimojong merupakan salah satu list dalam deretan puncak tertinggi Indonesia. Inilah yang menggerakanku penasaran untuk mendaki tempat ini. Oh ya, Gunung Latimojong memiliki banyak puncak, tak jabarin ya :
1. Puncak Rante Mario (3.478 Mdpl)
2. Puncak Nenemori (3.397 Mdpl)
3. Puncak Rante Kambola (3.083 Mdpl)
4. Puncak Pokapinjang (2.970 Mdpl)
5. Puncak Latimojong (2.800 Mdpl)
6. Puncak Sikolong (2.754 Mdpl)
7. Pucak Bajaja (2.700 Mdpl)
8. Puncak Pantealoan (2.500 Mdpl)
9. Puncak Sinaji (2.430 Mdpl)

Noh, tinggal milih aja mau puncak yang mana. Kalau aku sudah tentu memilih puncak tertingginya - Puncak Rante Mario.
Ini jauh di luar ekspektasi, nalar dan bahkan harapanku. Solo, tak paham lokasi, tak ada yang aku kenal, yess! Ini namanya eksplorasi jati diri. Tak usah panjang kali kau curhat Neng! Langsung saja, tepatnya 2 bulan sebelum keberangkatan, aku mencoba mencari segala bentuk informasi, data dan lain-lain tentang Makassar, membeli tiket, melengkapi perlengkapan hiking, serta persiapan fisik yang tak kala tidak rutin. Akhirnya, ku dapati artikel dari seorang blogger yang ber-solo hiking ke Latimojong juga segala informasi, data dan penduduk lokal di Makassar selama beliau menjalani perjalanan disana. Oke, tak cukup banyak informasi yang dia berikan karena di blognya sudah tertulis dengan cukup jelas.

“…. Ya udah Neng, coba hubungi nomor ini.” Katanya.
“Oke, makasi banyak bang.”

Dengan segera ku ayunkan jari, mengirim pesan kepada salah seorang disana, sebut saja namanya Sunar.

…..

“Bang, kira-kira ada ga temen yang bakalan nanjak ke Latimojong 9-11 Juni?” Tanyaku sambil berharap menunggu jawaban yang nantinya akan menghiburku.
“Kenapa mbak? Datang saja, tenang nanti saya yang temenin.”
“Yakin Bang? Itu bulan puasa loh?”
“Yakin, gpp, datang aja.” Balasnya, tanpa tahu raut muka sebenarnya.

Jujur antara senang, dan was-was juga, loh kenapa kan enak sudah ada yang bakalan nemenin nanjak? Ya gak segampang dan seindah yang dibayangkan lah, secara juga wanita. Wanita mana yang tidak was-was pergi jauh ke kota orang, ke gunung pula, dengan pria yang tidak dikenalinya sebelumnya. Mau mati sia-sia kale. Hari-hari berlalu, dan akhirnya…

Sabtu, 9 Juni 2018
Burung besi menibakanku di Bandar Udara Hasanuddin pada pukul 00.05, dini hari. Berpasrah dengan segala opsi dan kemungkinan yang ada. Ternyata, di sana telah hadir 2 orang pria yang menunggu kedatanganku. Senangnya hatikuuuu, turun panas demamku, kini aku bermain dengan riang. Plakkk! Fokusss.
Dengan segera, akhirnya kami lajukan kuda besi ke Gowa, tempat dimana aku akan beristirahat dan tinggal untuk beberapa waktu. Ya sudah tentu itu adalah rumah keluarga Sunar. Perjalanan dari Makassar menuju Kab. Gowa membutuhkan waktu kurang lebih 2 jam perjalanan, dan sekitar pukul setengah 3 kami tiba ditujuan. Berhubung hari dimana aku datang adalah bulan Ramadhan, maka aku pun disambut keluarga Sunar dengan sahur bersama. FYI, sejam sebelumnya, seorang rekan temanku (Way) sudah mentraktirku nasi kuning. Hahaha. Syukuri aja, lagi-lagi makan! Melalui tulisan ini aku berterima kasih untukmu Way, karena sudah mau direpotkan. Untuk keluarga besar Sunar, terima kasih banyak juga untuk jamuan makan berkesan, nan hangat subuh itu.
Sehabis makan, seharusnya kami beristirahat dikarenakan jam 9 pagi kami akan memulai perjalanan panjang kami, namun ternyata dikarenakan tidak bisa tidur dan menunggu dua rekan yang lain untuk packing ulang seluruh bawaan, mataku pun tetap terjaga hingga pagi hari.
Pukul 9 waktu setempat, kami memulai perjalan kami yang cukup panjang dan akan sangat melelahkan dengan menggunakan sepeda motor. Lagi-lagi, ini adalah pengalaman pertamaku berjalan jauh, bawa beban berat dengan menggunakan sepeda motor, dan aku pun bersemangat untuk itu. Sepanjang perjalanan dari Kab. Gowa menuju Desa Karang (tempat perhentian terakhir sebelum mendaki), kami disuguhkan pemandangan alam yang begitu asri dan apik tenan. Ladang hijau, langit biru terbentang luas mengiring perjalanan kami untuk sampai.







Dari kabupaten ke kabupaten telah kami lewati, namun tubuh tidak bisa dibohongi. Malam itu kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan esokan harinya, dan kami akhirnya bermalam di rumah Hafiz, perbatasan antara Baraka dan Desa Karangan. Apa dayalah hari itu, tetap saja aku kurang istirahat, kami mengobrol sepanjang malam, dan aku di doktrinasi disana oleh salah seorang senior.
“Kalau gak kuat, ga usah sok kuat. Pulanglah, sebelum sampai puncak. Pos 2 ke Pos 3 itu keras.” Ujarnya.



Aku menyimpan kalimat itu dengan cukup baik dalam memori otakku. Dan keesokan paginyaaaa….

Minggu, 10 Juni 2018
Pukul 8 kami melanjutkan perjalanan kami dari rumah Hafiz ke Desa Karangan. Konon katanya, dan benar nyatanya, perjalanan hanya membutuhkan waktu kurang lebih sekitar 2 jam, tapi dengan trek yang aduhai, indahhh tapi ‘mematikan.’ Apa maksudnya Neng? Jalannya kurang manusiawi, hancur dan nanjak terus. Beberapa kali mengharuskanku untuk turun dari motor membawa daypack untuk pemanasan kecil sebelum memulai pendakian.







Ternyata, semangat gak cukup untuk menakhlukan Latimojong. Seketika, pandanganku gelap, rasanya mau pingsan. HAHAHA!

“Mbak gak kenapa-kenapa kan? Sini aku anter mbak dulu ke rumah kepala dusun, terus istirahat disana.” Sahut Sunar yang melihatku sudah begitu lelah.

Akhirnya, beliau gas motor yang sudah tak sanggup untuk tetap naik dengan perlahan, dan menibakan aku di rumah kepala dusun Karangan.
Setibanya aku disana, langsung saja aku rebahan di rumah warga setempat dan berbaur dengan mereka yang sedang sibuk mengolah biji kopi.




Tak lama kemudian, Sunar, dan kedua temannya, sebut saja Jaling dan Aldi tiba. Dan inilah awal dari cerita bahagia kami selanjutnya. Kami mendaftarkan diri kami dan izin untuk melakukan pendakian kepada kepala dusun Karangan dengan membayar biaya kontribusi sebesar Rp 10.000,-/orang. Panas terik di siang hari kala itu, menjadi saksi bisu dimana 4 orang muda-mudi mulai pendakian.

…. Amin. Harapan dan doa indah kami, kami panjatkan untuk mengawali perjalanan nan keras ini.


Basecamp – Pos 1 (Batu Kaciling)
Sepanjang perjalanan dari Basecamp menuju Pos 1, kita hanya melalui perkebunan warga yang terbentang luas, untuk treknya? Puanjangggg dan menguras tenaga. Belum juga, seperempat perjalanan, langkah kaki kecilku tertatih membawa daypack bawaanku. Aku mencoba mengajak mereka beristirahat di sebuah jembatan kecil dan memasak makan siang disana. Aku berharap setelah makan, tenagaku kembali pulih dan bisa melanjutkan perjalanan. 




Ternyata, tubuh lelahku akibat kurang tidur tak bisa dibohongi. Jrengg, jreenggg.. Akibat doktrin salah seorang senior tadi malam yang masih rapat aku simpan, aku berkata :
“Sunar, sepertinya aku tidak kuat lagi. Pulang saja.”
“Tenang mbak, mbak pasti bisa.” Sambil memaksaku melepas daypack bawaanku.


Pos 1 dengan kerasnya, dibandingkan dengan semangat yang diberikan Sunar kepadaku, mengajari aku untuk tetap bertahan. Walau tubuh lelah, aku harus tetap bersemangat dan optimis melewati “sambutan  kecil” menuju atap Sulawesi.

Pos 1 – Pos 2 (Sarung Pakpak)
Memasuki perbatasan Pos 1 dengan Pos 2, kami disambut dengan padat dan suburnya pepohonan gunung. Ditambah lagi dengan ‘trek cantik’ nan aduhai. Jaling sempat terjatuh, terduduk cantik di pinggiran jalur.






Kurang lebih pukul 13.20 kami tiba di Pos 2, sumber mata air. Di sini sumber aliran air yang cukup besar, kita bisa beristirahat dan basah-basahan sejenak. Mau minum bisa, mau mandi pun juga bisa, tapi tetap harus waspada karena arus air di tempat ini cukup deras. Tempat ini memberikan ketenangan sendiri, begitu tenang dan kau hanya bisa mendengarkan gemuru air yang menderu. Cukup lama kami menikmati tempat ini. Dan kami mulai melanjutkan perjalanan menuju Pos 3 yang katanya cukup gila bisa dibuatnya.

Pos 2 – Pos 3 (Lantang Nare)
Memang benar kata orang, jalur menuju Pos 3 memang ‘gila’. Mengingatkanku akan cinta pertama beserta kenangannya. Gunung Dempo, yap! Jalur menuju Pos 3 cukup ekstrem dan menantang. Di beberapa titik diberikan rotan kecil sebagai alat bantu untuk memanjat kayak spiderman. Bener-bener ga nyantai cuii, lutut ketemu lutut. Cobain aja kalau penasaran, asik banget dah. Please! Jangan bawa nenek-nenek rempong dimari, bakalan susah, nangis, dan menjerit minta pulang nanti. #lebay




Pos 3 – Pos 4 (Buntu Lebo)
Jalur dari Pos 3 menuju Pos 4 tidaklah separah dari Pos 2 menuju Pos 3, namun jalur ini agak sedikit lebih panjang. Walaupun tak panjang, Latimojong memberikan kesan tersendiri. Dari Pos 1 sampai dengan Pos 4, bisa dibilang tak ada bonusnya sama sekali. Cukup keras dan menguras tenaga, jalur yang kami lalui menuju ke Pos 4, yang dimana jalur ini di dominasi hutan rapat. Lebih kurang 45 menit waktu yang kami butuhkan untuk sampai, dan disini kami beristirahat sejenak lebih kurang 10 menit untuk melanjutkan perjalanan menuju Pos 5.





Pos 4 – Pos 5 (Soloh Lama)
Waktu telah menunjukan pukul setengah lima sore, yang mengharuskan kami untuk bergegas pergi meninggalkan Pos 4. Konon katanya dan benar adanya, jarak tempuh menuju Pos 5 memakan waktu cukup panjang dengan trek yang kadang landai dan kadang juga nanjak-nanjak gitu. Berhubung tubuh sudah begitu lelah, beban terasa semakin berat dan rasanya ingin cepat sampai.

Pos 5 adalah Pos perhentian terakhir kami, dan disini kami akan membangun tenda untuk bermalam. Beruntung aku punya temen pendakian super sabar dan buaiknya ampun. Kami tiba cukup malam di Pos 5, dan kami pun harus segera membangun tenda. Dengan tempat yang sangat luassssssss, dan cukup datar, di tempat ini sangat di rekomendasi untuk membangun tenda.



Setelah usai membangun tenda….
“Jaling, Aldi, ambil kau air disana.” kata Sunar.
“Macam mana pula kau, kami ga tahu.”
“Ya sudah aku temani, besok pagi ambil sendiri.”
Sementara aku yang lagi berberes, kecapekan, dan hendak beristirahat…….
“Mba, mau ikut atau tinggal sendiri disini? Kami mau ambil air.” Ujar Sunar.
“Jauh tidak?”
“Kurang lebih sekitar setengah jam.”
“Yaudah aku ikut saja.” Jawabku. Horor juga ya kan kalau tinggal sendirian dalam tenda, di hutan pula, dan tak ada tetangga. Walau pun jalan sudah terseok-seok kupastikan langkah kaki harus tetap digassss untuk sampai di sumber mata air tersebut. Dan benar saja, aku pun ga akan mau ngulang untuk kedua kalinya untuk mengambil air di Pos 5 ini. Loh kenapa, neng? Jalurnya ampun, turun naik, kiri jurang, dan sesekali kita akan menemukan pohon-pohon tumbang yang menghalangi jalur.
Tak pikir panjang, setelah mengambil air, langsung saja aku tidur, mau makan apa gak juga gak gitu masalah. Namun Sunar dkk tetap semangat untuk memasak makan malam. Di Pos 5 ini kami menghabiskan malam dengan beristirahat untuk keesokan harinya melanjutkan perjalanan menuju puncak.

....

bersambung....
http://nengnongki.blogspot.com/2018/07/solo-traveling-catatan-backpacker_25.html

Komentar

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

GUNUNG RAUNG : Perjalanan Menggapai Puncak Sejati - 3344 MDPL

Raung, 3344 MDPL I'm coming!!! Pucuk dicinta ulampun tiba. Gayung bersambutlah pokoknya! Cerita kali ini bisa dibilang kebanyakan drama, namun sangatlah menyenangkan. Kenapa enggak, keinginan awak beberapa tahun silam akhirnya kesampean, baca nih -> K E S A M P E A N.  Rasa penasaranku begitu menggebu, nancap sampai ulu untuk menunggu moment itu, akhirnya terealisasi. Moment opo toh neng? Ya... Pokoke berhasil muncak dan megang plakat Mt. Raung yang dikenal sebagai gunung yang memiliki trek paling ekstrem se-Pulau Jawa. Sebelum menceritakan detail perjalananku, aku ingin sodara-sodari kenal akan gunung ini. Raung... Secara administratif, kawasan gunung Raung termasuk dalam wilayah di tiga kabupaten yaitu Banyuwangi, Bondowoso, dan Jember. Dan secara geografis, lokasi gunung Raung berada dalam kawasan komplek Pegunungan Ijen, dan dinobatkan menjadi gunung yang memiliki puncak paling tinggi dari gugusan pegunungan tersebut.  Raung sendiri memiliki 4 titik puncak, yaitu

Budget Traveling Palembang - Bali sampai ke Labuan Bajo

Untuk postingan kali ini, saya akan merincikan biaya yang saya keluarkan (pribadi) untuk dua tempat wisata ini. Biaya jalan-jalan ini kurang lebihnya terdiri dari : 1. Biaya transportasi  : a. Pesawat Palembang - Bali b. Pesawat Bali - Labuan Bajo c. Pesawat Labuan Bajo - Palembang d. Trasportasi ke Bandara 2. Biaya Inap Hotel a. Hotel di Bali b. Hotel di Labuan Bajo 3. Biaya Sailing 3D 2N 4. Biaya Lain-Lain a.  Biaya Makan / Kuliner b. Tempat masuk wisata b. Transportasi di Bali dan Labuan Bajo c. Tips ABK 4. Oleh - Oleh ( optional ) 1. Biaya Transportasi a. Pesawat Palembang - Bali (Garuda) 22 Maret 2016 - Rp 900.000,- Untuk pergi ke Bali, ada begitu banyak pilihan maskapai penerbangan. Saya lebih memilih untuk naik pesawat ketimbang jalur darat (ngeteng) dengan alasan ya Sumatera dan Bali itu jauh sekali oi.. Berhubung saya sudah merencanakan dan membeli tiket PLM - DPS 3 bulan sebelum (Desember), saya mendapat harga tiket jauh lebih mur

RAJA AMPAT : Serpihan Keindahan Surga yang Jatuh ke Bumi (PART II : MISOOL ISLAND)

Misool Island!!! Sebuah destinasi yang "katanya" paling wajib dikunjungi kalau berkunjung ke kawasan wisata Raja Ampat. Dan "katanya" lagi,  keindahan alam bawah laut dan  landscape yang ditawarkan di kepulauan Misool begitu berbeda indahnya, melebihi keindahan Kepulauan Wayag atau pun Piaynemo. Pada waktu dan kesempatan kali ini, masih dengan tim yang sama, setelah dikurang dan ditambah dengan beberapa orang yang berbeda, terkumpullah 17 orang yang memiliki tujuan yang sama, ingin menjelajah kepulauan Misool. Yappp! S etelah rehat 2 hari dari menjelajah  Kepulauan Wayag & Piaynemo , kini tiba saatnya aku dapat melihat keindahan Kepulauan Misool secara langsung. Rasa bahagia begitu nyata mewarnai hariku saat itu. Senin, 15 Maret 2021 (PELABUHAN MARINA SORONG - KAMPUNG PULAU KASIM - KAMPUNG HARAPAN JAYA) Pk. 09.00 WIT,  Meet up at Marina Sorong Port "Hari ini kita ketemu di Pelabuhan Marina, Sorong, ya."  .... Siapp! Ku packing -kan   seluruh bawaanku,